Pages

Minggu, 26 Maret 2017

Anfis Pencernaan



Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan

Sistem pencernaan makanan adalah kesatuan alat-alat yang dilibatkan dalam proses pencernaan makanan. Sistem pencernaan manusia terdiri dari saluran pencernaan dan kelenjar pencernaan. Sistem pencernaan tersusun atas organ-organ yang menjalankan fungsi-fungsi penting, antara lain menyediakan bahan makanan untuk diserap agar bahan makanan ini dapat digunakan oleh sel tubuh.
Sistem pencernaan terdiri atas suatu saluran yang berawal dari mulut dan berakhir di anus. Bagian yang menyusun sistem ini adalah mulut, faring, esophagus, lambung (gaster), usus halus (intestinumm tenue), dan usus besar (intestinum crassum). Selain organ-organ tersebut, terdapat organ lain yang membantu pencernaan. Organ ini disebut organ pembantu pencernaan yang terdiri atas kelejar ludah (glandulae salivariae), pankreas, hati (hepar) dan kandung empedu (vesica fellea).

A.      Organ Pencernaan
1.      Mulut
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0bc-tLcd-fl24oevJUf5DsKdoYy_Bm54tJC8u0zvsIOPfOkyLMucf-zWzCSQRCcyITgFk1to8IFNp611Q_l_KuZzbQKBBB_s-ScfQOSe3KAXLqiRi7MYF-3myCS3aRw6BqMDmxqBIc5M/s1600/anatomi-mulut.jpg

Rongga mulut (cavitas oris) dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu rongga umum (ruang tengah yang mengandung lidah) dan rongga vestibula (ruang di antara gigi dan permukaan dalam gusi. Struktur yang membentuk cavitas oris adalah bibir dibagian depan, pipi dibagian samping, lidah, dan palatum.
Lidah merupakan suatu organ yang tersusun atas otot-otot rangka. Permukaan lidah terasa kasar karena mengandung bintik-bintik di dalam membran mukosa yang disebut papilla. Papilla yang terdapat dipermukaan lidah terdiri atas tiga jenis yaitu papilla vallatae (tersusun berbentuk V terbalik di bagian belakang lidah), papilla filiformes (terdapat di sekitar  bagian dari depan lidah) dan papilla fungiformes (sebagian besar terdapat di tepi lidah). Lidah berfungsi sebagai indera perasa, sangat diperlukan pada saat kita berbicara, membantu proses mengunyah dan menelan.
Gigi merupakan struktur keras yang menyerupai tulang dan setiap gigi memiliki bagian-bagian yaitu mahkota (corona dentis) yang menonjol keluar dari gusi, akar (radix dentis) yang tertanam di dalam gusi dan terdiri atas satu cabang atau lebih, dan leher (collum dentis) yaitu bagian di antara corona dan radix dentis. Jaringan yang menyusun gigi terdiri atas jaringan email yang merupakkan jaringan yang paling keras dan berfungsi melindungi mahkota gigi, dentin merupakan bahan utama yang menyusun gigi, dan pulpa yang tersusun oleh serabut saraf dan pembuluh darah. Gigi akan mati jika pulpa mati atau rusak. Manusia memiliki dua susunan gigi, yaitu gigi pertama atau sementara juga dikenal sebagai gigi susu yang terdiri atas 20 buah gigi dan terbentuk sekitar usia 6 bulan hingga 2 tahun dan gigi kedua atau permanen yang terdiri atas 32 buah gigi dan menggantikan gigi susu. Gigi permanen terbentuk dan muncul keluar pada sekitar usia 6 tahun hingga 12 tahun (kecuali gigi bungsu yang keluar antara usia 17 hingga 25 tahun).

2.      Faring (Pharynx)
Hasil gambar untuk anatomi faringFaring adalah suatu saluran berbentuk kerucut. Dindingnya mengandung otot rangka dan rongganya dilapisi dengan membran mukosa. Panjang faring adalah sekitar 13 cm pada orang dewasa dan bermula dari dasar  cranium hingga ruas vertebra cervicalis keenam. Faring dapat dibagi menjadi nasofaring (bagian saluran pernapasan), orofaring (memiliki dua fungsi yaitu memungkinkan udara masuk ke dalam laring dan menelankan bahan makanan ke dalam esofagus) dan hipofaring (terletak di belakang laring dan berhubungan dengan esofagus yang terdapat di bawahnya).

3.      Kerongkongan (Esofagus)
Hasil gambar untuk anatomi esofagus 
Kerongkongan berbentuk seperti selang air atau tabung dengan panjang kurang lebih 25 cm dan lebar sekitar 2 cm. Peran kerongkongan dalam pencernaan adalah menghasilkan lendir dan mendorong makanan ke dalam labung melalui grak peristaltic. Struktur esofagus terdiri dari lapisan jaringan berserabut yaitu lapisan luar yang meliputi seluruh bagian esofagus, lapisan otot yaitu lapisan yang terdiri atas otot bebas yang tersusun dalam dua lapisan yaitu serabut melingkar di bagian dalam dan serabut membujur di bagian luar,  lapisan submukosa yaitu lapisan yang tersusun atas jaringan ikat longgar; di dalamnya terdapat pembuluh darah, ductus lymphaticus, dan serabut saraf, dan lapisan mukosa yaitu lapisan yang menyusun bagian dalam esofagus.

4.      Lambung (gaster/ventriculus)
Hasil gambar untuk anatomi esofagus
Lambung mempunyai ciri-ciri berbentuk seperti katung, mempunyai otot yang menggelembung, dinding otot tebal, berada di bawah sekat rongga dada, bisa mengembang dengan baik. Makanan di dalam lambung akan dicerna secara kimia oleh getah lambung dan mekanik olehe dinding lambung.
Permukaan lambung terdiri dari permukaan depan dan belakang. Lambung memiliki dua tepi yaitu tepi atas membentuk lengkungan kecil (curvatura minor) dan tepi bawah membentuk lengkungan besar (curvatura major). Bagian-bagian lambung terdiri dari cardia (bagian yang berhubungan dengan esofagus), fundus (bagian yang terdapat di sebelah kiri cadia dan berbentuk cembung ke atas), corpus (bagian umum gaster), dan pylorus (bagian bawah gaster yang menjuur ke arah duodenum).
Arteria gastrica dan arteria lienalis menyuplai gaster dengan darah beroksigen. Kedua arteria tersebut merupkan cabang dari arteri colica. Vena gastrica mencurahkan darahnya ke dalam vena porta.
Lambung menerima dua jenis saraf dari sistem saraf autonom yaitu saraf fagus, merupakan saraf parasimpatetik-saraf ini menstimulasi pencernaan, dan gerak peristalsis serta produksi dari kelenjar di dinding gaster dan saraf simpatetik yang menahan pembentukan getah lambung (succus gastricus).
Di dalam succus gastricus terdapat enzim-enzim yaitu pepsinogen (berubah menjadi pepsin karena aksi asam klorida, pepsin berfungsi mengubah protein menjadi pepton), renin (membekukan susu dan mengubah kasinogen menjadi kasein, kasein kemudian bereaksi terhadap pepton), dan lipase (mengubah lemak yang mudah dicerna menjadi asam lemak dan gliserol).
Fungsi gaster adalah menyimpan bahan makanan sementara agar dapat dicerna, menghasilkan succus gastricus yang dibutuhkan dalam pencernaan makanan, asam klorida yang terbentuk di dalam gater memusnahkan beberapa jenis kuman yang masuk ke dalam gaster, gaster menghasilkan faktor intrinsik yang dibutuhkan untuk penyerapan vitamin B12, dan gaster memungkinkan penyerapan bahan makanan tertentu melalui dindingnya.

5.      Usus Halus (Intestinum Tenue)
Hasil gambar untuk anatomi usus halusUsus halus memiliki ciri ukuran sangat panjang, yaitu sekitar 6 m dengan lebar 25 mm, dindingnya berlekuk-lekuk dan halus karena dindingnya berjonjot. Di dalam usus halus, makanan dicerna secara kimia oleh enzim pencernaan.
Posisi usus halus dalam tubuh  berada di atas pinggang dan terdiri dari tiga bagian utama, yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (illeum).
Duodenum akan menghasilkan hormon pencernaan, antara lain hormon sekretin yang berperan dalam memicu getah pankreas untuk menghasilkan enzim-enzim pencernaan (tripsin-memecah protein dan pepton, amylase-menghasilkan maltose dari amilum, dan lipase-memproduksi asam lemmak dan gliserol dari pemecahan lemak), hormon insulin yang berperan dalam menstabilkan kadar gula dalam darah, dan hormon koleisistokinin untuk memicu empedu untuk memproduksi getah empedu.
Jejenum menghasilkan kelenjar liberkuhn pada dindingnya. Kelenjar tersebut akan menyekresikan getah usus yang terdiri dari erepsinogen-yang akan diubah enjadi erepsin oleh enterokinase yang bertugas menghasilkan  menghasilkan asam amino dari peptida, maltase-menghasilkan glikosa dari maltose, sakarase-memproduksi glukosa dan fruktosa dengan memecah sakarosa, lactase-mengubah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa, dan lipase-mennghasilkan asam lemak dan gliserol dari lemak.
Ileum memiliki susunan yang terdiri dari dinding usus halus dan getah usus halus. Penyerapan sari-sari makanan yang erjadi pada usus dapat maksimal. Hal ini dikarenakan permukaan usus yang luas akibat pengaruh adanya jonjot usus yang sering disebut vili usus.

6.      Usus Besar (Colon/Intestinum Crassum)
Hasil gambar untuk anatomi usus halus
Usus besar panjangnya kurang lebih 1 m dengan garis tengah sekitar 6,5 cm. Peran utama usus besar ialah mengendalikan kandungan air dalam sisa makanan. Usus besar terdiri dari tiga bagian utama, yaitu bagian usus besar yang naik (askenden), bagian mendatar (transversum), dan bagian yang turun (deskenden). Bagian-bagian intestinum terdiri dari caecum, appendix vermiformis, colon-ascendens, transversum, descendens, sigmoideum, dan rectum. Di dalam usus besar, makanan dibusukkan oleh Escherecia Coli untuk diubah menjadi feses yang lunak. Feses yang terbentuk dikumpulkan di rektum sebelum dikeluarkan lewat anus.
Rektum terdapat di depan os sacrum di cavitas pelvis. Pada perempuan, rektum terdapat di belakang uterus. Pada laki-laki, rektum terletak di belakang vesica urinaria. Panjang rektum adalah 12,7 cm dan rektum berakhir di anus.

7.      Anus
Anus merupakan suatu terusan (dengan panjang 2,54 – 3,8 cm) yang membuka keluar dari rektum. Anus hanya dijaga oleh m. Sphincter ani. Anus bertugas mengeluarkan feses yang sebelumnya telah dikumpulksan di rektum. Anus bekerja ditopang oleh otot polos yang terletak di dalam anus dan otot lurik akan terpicu ketika feses menyentuh dinding rektum. Pada kondisi ini otot polos mengendur sehingga feses akan keluar tubuh. Kontraksi dan relaksasi otot ini berada di bawah kehendak kita.

B.      Organ Pembantu Pencernaan
1.      Kelenjar Ludah (glandulae salivariae)
Kelenjar ludah merupakan kelenjar penghasil ludah atau air liur (saliva) yang terdiri dari tiga pasang yaitu kelenjar parotis berada dibawah telinga yang berfungsi menghasilkan ludah berbentuk cair, kelenjar submandibularis berada di rahang bagian bawah, berfungsi menghasilkan getah yang mengandung air dan lendir, dan kelenjar sublingualis berada di bawah lidah, berperan menghasilkan getah yang mengandung air dan lendir. Ludah mengandung enzim ptyalin (amylase).

2.      Pankreas
Pankreas terletak di cavitas abdominis di regio epigastrium dan hypocondrium kiri di belakang gaster dan permukaan depannya menjadi sebagian dari dasar gaster. Panjang pankreas adalah sekitar 17,8 cm, lebar 3,8 cm, tebal 2,54 cm, dan berat 85 gram.
Ada dua jenis kelenjar yang berada pada pankreas yaitu kelenjar endokrin yang berperan dalam produksi hormon insulin dan berperan dalam produksi getah pankreas. Getah pankreas bersifat basa dengan pH sekitar 8. Dalam sistem pencernaan, getah pankreas mempunyai peran untuk menetralisir chymus yang bersifat asam yang dihasilkan oleh lambung, mengandung NaHCO3, dan menghasilkan bermacam-macam enzim.
Beberapa jenis enzim yang dihasilkan antara lain enzim lipase pankreas-beperan mengubah lemak menjadi asam lemak dan gliserol, amylopsin-berperan dalam memproduksi maltose dari amilum, nuclease-mengubah asam nukleat menjadi nukleotida, disakarase-mengubah disakarida menjadi monosakarida, enterokinase-menghasilkan tripsin dari penguraian tripsinogen, yang berguna untuk memecah protein menjadi polipeptida dan dipeptida, dan tripsin-mengubah pepton menjadi asam amino.
3.      Hati (hepar)
Hepar adalah kelenjar terbesar dalam tubuh dengan berat sekitar 1,4 kg. Organ ini terletak dibawah diafragma dalam cavitas abdominis terutama di regio hypocondrium kanan, tetapi berlanjut ke regio epigastrium dan hypocondrium kiri. Hati terdiri dari dua belahan, yaitu bagian lobus kanan dan lobus kiri, dipisahkan oleh ligament falsiformis. Tiap-tiap belahan memiliki saluran empedu, memiliki kantung empedu yang berperan dalam menampung zat keluaran dari hati.
Hati dalam proses pembentukan dan penguraian karbohidrat dalam tubuh, mempunyai peranan sebagai tempat menyimpan glikogen, menghasilkan glukosa dari galaktosa dan fruktosa, mengubah senyawa lemak, protein, dan laktat menjadi glukosa, dan menyusun senyawa kimia yang dibutuhkan tubuh dari hasil perantara metabolisme karbohidrat.
Hati dalam proses pembentukan dan penguraian protein dalam tubuh, mempunyai peranan sebagai tempat memproduksi lipoprotein dalam tubuh dalam jumlah yang besar, memproduksi sebagian besar kolesterol dan fosfolipid, menghasilkan lemak dari sejumlah karbohidrat dan proteinn, menurunkan kadar NH2 yang terkandung dalam asam amino, membantu proses ekskresi amonia dari dalam tubuh dengan menghasilkan urea, menghasilkan plasma protein, dan menyerap vitamin A, D, E, dan K.
Saluran yang masuk ke dalam atau keluar hepar adalah vena porta-membawa zat maknan yang telah dicerna di dalam saluran pencernaan serta insulin ke hepar, arteri hepatica-cabang dari arteri colica, membawa darah beroksigen ke hepar, ductus choledochus-membawa empedu yang dihasilkan di dalam hepar ke vesica fellea dan duodenum, vena hepatica-keluar melalui permukaan belakang hepar; vena ini bersatu dengan vena cava inferior, ductus lymphaticus-membawa cairan limfa dari hepar ke ductus thoracicus, dan serabut-serabut saraf autonom juuga masuk dan keluar di fissura hepatica.
4.      Kandung Empedu (vesica fellea)
Vesica fellea merupkan suatu kantung yang terletak di permukaan inferior lobus hepatis dexter. Panjang kantung ini sekitar 8-10 cm dan kantung ini menyimpan 28,35 gram empedu. Vesica fellea merupakan organ penampung yang menyimpan empedu yang dihasilkan oleh hepar dan berfungsi memekatkan empedu. Jika separuh air dalam empedu diserap ke dalam dinding vesica fellea, empedu menjadi lebih pekat.
Empedu merupakan cairan berwarna kuning dan pahit, mempunya pH sekitar 7-8, dan merupakan hasil perombakan sel darah merah yang rusak atau mati. Peranan empedu dalam tubuh untuk meminimalisir tegangan permukaan dari lemak, memicu kerja enzim lipase, menyebabkan feses berwarna kuning, membantu dinding usus dalam menyerap lemak, dan pada usus membantu terjadinya reaks alkali.
Terdapat dua jenis pigmen yang ada di dalam empedu, yaitu bilirubin dan biliverdin. Bilirubin (memberi warna kekuning-kuningan pada empedu) dihasilkan oleh hemoglobin pada saat perombakan eritrosit. Setengah dari bilirubin yang dihasilkan diubah menjadi biliverdin di dalam hepar. Biliverdin memberi warna hijau pada empedu. Jika pigmen empedu masuk ke daam intestinum, setengah dari pigmen tersebut diubah menjadi sterkobilin yang memberi warna pada feses. Kuman-kuman dalam intestinum mengubah sebagian sterkobilin menjadi urobilinogen yang diserap ke dalam darah dan kemudia disingkirkan melalui urine. Pigmen ini memberi warna pada urine.
C.      Perubahan Komponen Bahan Makanan
Bahan makanan yang masuk ke dalam tubuh mengalami empat tingkat perubahan yaitu pengunyahan atau penelanan, pencernaan, penyerapan, dan pembuangan bahan-bahan yang tidak dicerna.  
1.      Pengunyahan atau Penelanan
Bahan makanan yang masuk ke mulut akan dihancurkan melalui aksi kerja sama antara mulut, gigi, dan lidah. Penghancuran ini disebut juga pengunyahan. Makanan dicampur dengan ludah di dalam mulut hingga menjadi lumat. Setelah itu, makanan ditelan melalui faring dan esofagus hingga masuk ke dalam gaster. Proses menelan ini merupakan tanggung jawab dari otot pengontriksi yang terdapat di dinding faring.
2.      Pencernaan
Proses pencernaan berawal di dalam mulut dan berlanjut hingga ke dalam gaster dan intestinum tenue. Di gaster dan intestinum tenue terjadi sebagian besar proses pencernaan.Pencernaan merupakan suatu proses pengubahan bahan-bahan makanan secara kimia maupun fisika agar dapat diserap oleh tubuh.
3.      Penyerapan
Sebagian besar bahan makanan diserap di dalam intestinum tuneu, tetapi beberapa bahan makanan dapaat diserap oleh beberapa bagian tubuh yang lain di dalam sistem pencernaan.
4.      Pembuangan Bahan Makanan yang Tidak Dicerna
Pembuangan ini merupakan tuga dari intestinum crassum. Bahan makanan yang tidak dicerna dikeluarkan dari dalam tubuh sebagai feses.
D.     Feses
Feses biasanya berupa bahan setengah padat, lembut, dan berwarna kekuning-kuningan karena adanya pigmen bilirubin dan biliverdin dari empedu. Sekitar 70% kandungan feses adalah air. Bahan-bahan lain yang terkandung dalam feses adalah bahan makanan yang tidak dicerna. Feses juga mengandung sel-sel epitel yang mati dan kuman.


Sumber:
* Dwisang, Evi Luvina. 2014. Anatomi dan Fisiologi untuk Perawat dan Bidan. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher
*Sarwandi dan Linangkung, Erfanto. 2014. Buku Pintar Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta: Dunia Cerdas

Sabtu, 25 Maret 2017

Penyakit Asma



ASMA

A.    Definisi
Penyakit Asma berasal dari kata “Ashtma” yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti “sukar bernafas”. Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronik ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperesponsif, sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema, dan hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini hari/subuh (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015)

B.     Prevalensi
Pada tahun 2013 terdapat (18) delapan belas provinsi yang mempunyai prevalensi penyakit Asma melebihi angka nasional, dari 18 provinsi tersebut 5 provinsi teratas adalah Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Sedangkan provinsi yang mempunyai prevalensi penyakit Asma di bawah angka nasional, di mana 5 provinsi yang mempunyai prevalensi Asma terendah yaitu: Sumatera Utara, Jambi, Riau, Bengkulu, dan Lampung.

C.     Faktor Risiko
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host) dan faktor lingkungan

Faktor pejamu tersebut adalah:
a)      predisposisi genetik asma
b)      alergi
c)      hipereaktifitas bronkus
d)      jenis kelamin
e)      ras/etnik

Faktor lingkungan dibagi 2, yaitu :
a. Yang mempengaruhi individu dengan kecenderungan /predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma
b. Yang menyebabkan eksaserbasi (serangan) dan/atau menyebabkan gejala asma menetap.

Faktor lingkungan yang mempengaruhi individu dengan predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma adalah :
a)      alergen di dalam maupun di luar ruangan, seperti mite domestik, alergen binatang, alergen kecoa, jamur, tepung sari bunga
b)      sensitisasi (bahan) lingkungan kerja
c)      asap rokok
d)      polusi udara di luar maupun di dalam ruangan
e)      infeksi pernapasan (virus)
f)       diet
g)      status sosioekonomi
h)      besarnya keluarga
i)        obesitas

Sedangkan faktor lingkungan yang menyebabkan eksaserbasi dan/atau menyebabkan gejala asma menetap adalah :
a)      alergen di dalam maupun di luar ruangan
b)      polusi udara di luar maupun di dalam ruangan
c)      infeksi pernapasan
d)      olah raga dan hiperventilasi
e)      perubahan cuaca
f)       makanan, additif (pengawet, penyedap, pewarna makanan)
g)      obat-obatan, seperti asetil salisilat
h)      ekspresi emosi yang berlebihan
i)        asap rokok
j)        iritan antara lain parfum, bau-bauan yang merangsang

D.    Etiologi dan Patogenesis

Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma. Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma dini (early asthma reaction) dan reaksi asma lambat (late asthma reaction). Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi sub-akut atau kronik. Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus.
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal yang kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah membran basal. Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi sel mast. Selain sel mast, sel lain yang dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel jalan napas, netrofil, platelet, limfosit dan monosit.
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel jalan napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas menjadi lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma, melalui sel efektor sekunder eperti eosinofil, netrofil, platelet, dan limfosit. Sel-sel  inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti lekotriens. Tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hiperaktivitas bronkus.
E.     Klasfikasi

Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa:
a.      Derajat asma        : Intermitten
     Gejala                   : Bulanan; gejala < 1x seminggu, tanpa gejala, diluar serangan, serangan meningkat
Gejala Malam       : ≤ 2 kali sebulan
Faal Paru                : APE ≥ 80%; VEP1 ≥ 80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik, variabiliti APE≤ 20%
b.      Derajat asma        : Persisten Ringan
     Gejala                   : Mingguan; gejala > 1x/minggu tapi < 1x/hari, serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala Malam       : > 2 kali sebulan
Faal Paru                : APE > 80%; VEP1 ≥ 80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik, variabiliti APE 20-30%
c.       Derajat asma        : Persisten Sedang
     Gejala                   : Harian; gejala setiap hari, serangan mengganggu aktivitas dan tidur, membutuhkan bronkodilator setiap hari
Gejala Malam       : > 2 kali sebulan
Faal Paru                : APE 60-80%; VEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik, variabiliti APE >30%
d.      Derajat asma        : Persisten Berat
     Gejala                   : Kontinu; gejala terus-menerus, sering kambuh, aktifitas fisik terbatas
Gejala Malam       : Sering
Faal Paru                : APE ≤60%; VEP1 ≤60% nilai prediksi APE ≤60% nilai terbaik, variabiliti APE >30%

F.     Gejala

Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan. Gejala awal berupa :
a)      batuk terutama pada malam atau dini hari
b)      sesak napas
c)      napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya
d)      rasa berat di dada
e)      dahak sulit keluar.
Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang termasuk gejala yang berat adalah:
a)      Serangan batuk yang hebat
b)      Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal
c)      Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)
d)      Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk
e)      Kesadaran menurun

G.    Pemeriksaan Fisik

1.      Inspeksi: pasien tampak gelisah, sesak (napas cuping hidung, napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal), sianosis
2.      Palpasi: biasanya tidak ada kelainan yang nyata (pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus)
3.      Perkusi: biasanya tidak ada kelainan yang nyata
4.      Auskultasi: ekspirasi memanjang, wheezing, suara lendir

H.    Pemeriksaan Penunjang

1.      Pemeriksaan fungsi pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis Asma faal paru dengan alat spirometer
2.      Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter
3.      Uji reversibilitas (dengan bronkodilator)
4.      Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hiperaktivitas bronkus
5.      Uji Alergi (Tes tusuk kulit/skin prick test) untuk menilai ada tidaknya alergi
6.      Foto thorax, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain selain asma

I.       Penatalaksanaan Medis-Non Medis

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan asma :
1.      Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2.      Mencegah eksaserbasi akut
3.      Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4.      Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise  
5.      Menghindari efek samping obat  
6.      Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7.      Mencegah kematian karena asma

Terapi Non-Medis:

1.      Edukasi
Komunikasi yang baik adalah kunci kepatuhan pasien, upaya meningkatkan
kepatuhan pasien dilakukan dengan :
·         Edukasi dan mendapatkan persetujuan pasien untuk setiap tindakan/penanganan yang akan dilakukan. Jelaskan sepenuhnya kegiatan dan manfaat yang dapat dirasakan pasien
·          Tindak lanjut (follow-up). Setiap kunjungan, menilai ulang penanganan yang diberikan dan bagaimana pasien melakukannya. Bila mungkin kaitkan dengan perbaikan yang dialami pasien (gejala dan faal paru).
·         Menetapkan rencana pengobatan bersama-sama dengan pasien.
·         Membantu pasien/keluarga dalam menggunakan obat asma.
·          Identifikasi dan atasi hambatan yang terjadi atau yang dirasakan pasien, sehingga pasien merasakan manfaat penatalaksanaan asma secara konkret.
·         Menanyakan kembali tentang rencana penganan yang disetujui bersama dan yang akan dilakukan, pada setiap kunjungan.
·         Mengajak keterlibatan keluarga.
·         Pertimbangkan pengaruh agama, kepercayaan, budaya dan status sosioekonomi yang dapat berefek terhadap penanganan asma

2.      Pengukuran peak flow meter
Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu
pengobatan seperti :
a)      Mengetahui apa yang membuat asma memburuk
b)      Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan berjalan baik
c)      Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan atau penghentian obat
d)      Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD

3.      Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4.      Pemberian oksigen
5.      Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
6.      Kontrol secara teratur
7.      Pola hidup sehat
Dapat dilakukan dengan : ƒ
a.      Penghentian merokok ƒ
b.      Menghindari kegemukan
c.       Kegiatan fisik misalnya senam asma

Terapi Medis:

1.      Simpatomimetik (Albuterol, Bitolterol, Efedrin, Epinefrin, Isoetharin, Isoproterenol, Metaproterenol, Salmeterol, Pirbuterol, Terbutalin). Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah sebagai berikut :
a) Stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi, dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah.
b) Stimulasi reseptor β1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas dan irama jantung.
c)  Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan klirens mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet.
2.      Xantin (Aminofilin, Teofilin, Difilin dan Oktrifilin). Indikasinya untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dan bronkospasma reversibel yang berkaitan dengan bronkhitis kronik dan emfisema.
3.      Antikolinergik (Ipratropium Bromida, Tiotropium Bromida)
4.      Kromolin Sodium dan Nedokromil (Kromolin Natrium, Nedokromil Natrium)
5.      Kortikosteroid, obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan cara kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung.
6.      Antagonis Reseptor Leukotrien (Zafirlukast, Montelukast Sodium, Zilueton,
7.      Obat-obat penunjang (Ketotifen Fumarat, N-Asetilsistein)


 Sumber:
1. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015. You Can Control Your Asthma. www.depkes.go.id
2. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. www.binfar.kemkes.go.id
3. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta: Dp